Oleh : Restu Aulia,S.Pd.I*

Diakui atau tidak sejarah pernah mencatat suatu masa yang disebut ‘de-humanisasi’ atau al-laa insaniyah terhadap kaum perempuan, kondisi tersebut sampai saat ini masih terlihat dan bahkan menjadi tontonan/berita harian masyarakat baik lewat media cetak maupun media online.

Hampir semua media masih memberitakan isu yang sama yakni kekerasan, pelecehan seksual, bahkan sampai pada perdagangan perempuan.

Pemandangan seperti ini hampir terjadi di seluruh lapisan dunia tidak hanya di negara demokratis dan maju (Adnan, 2005:94) melainkan juga di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim

Indonesia adalah termasuk negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang sampai saat ini pun di sebagian masyarakatnya khususnya yang belum memiliki sensitivitas gender masih menganggap bahwa perempuan adalah masyarakat kelas dua setelah laki-laki.

Hal ini dapat terlihat dari apresiasi terhadap perempuan belum banyak tercermin dalam realitas kehidupan masyarakat. Misalnya, kelahiran anak perempuan masih dianggap kurang membanggakan dibanding kelahiran anak laki-laki.

Perlakuan dan pola asuh terhadap anak perempuan masih sering dibeda bedakan dengan anak laki laki dan cenderung bertindak diskriminatif (berdasarkan konstruk sosial)

Hal ini tentu bertolak belakang dengan ajaran Islam yang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa dintara manusia baik laki-laki maupun perempuan dihadapan Allah hanya dibedakan dari tingkat ketaqwaannya. Itu artinya dalam hal-hal dunia dan akhirat semua baik laki maupun perempuan memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan derajat yang sama dalam menggapai ketaqwaan kepada Allah swt.

Ini juga salah satu hikmah kemudian Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling melengkapi dalam kehidupan dengan tujuan menciptakan kehidupan harmonis bukan sebaliknya menjadi sarana untuk saling menjatuhkan karena perbedaan (kulit, Bahasa, budaya, dll) (Q.S.al Hujurat [49]:13).

Menurut Abdul Mustaqim, (Peter Salim, 1997) Ada banyak faktor penyebab mengapa kaum perempuan mengalami bias (ketimpangan) gender, sehingga mereka belum setara/sejajar dengan kaum laki laki.

Faktor-faktor tersebut pertama, ‘budaya patriarkhi’ yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan. Ketiga, faktor ekonomi dimana sistem ‘kapitalisme global’ yang melanda dunia, seringkali justru mengeksploitasi kaum perempuan.

Keempat, faktor ‘interpretasi’ teks teks agama yang bias gender. Selama ini penafsiran penafsiran Al Qur’an didominasi ‘ideologi patriarkhi’. Ini bisa dimengerti, sebab memang kebanyakan para mufassir adalah kaum laki laki, sehingga mereka kurang mengakamodir kepentingan kaum perempuan.

Dengan demikian, diperlukan semacam ‘dekonstruksi’, sekaligus ‘ rekonstruksi paradigmatik’ terhadap model penafsiran yang cenderung meminggirkan peranan kaum perempuan (Mustaqim, 2008:15).

 

*Guru PAI SMPN 2 Pasir Belengkong dan Pengurus Asosiasi Guru PAI Kab Paser (AGPAII) Kab Paser

Share.
Leave A Reply