Oleh :  Dyah Elly Kusrini **

Di KALANGAN aktivis perempuan, tuntutan terhadap kesetaran laki-laki dan perempuan sangat penting karena dianggap sebagai sumber berbagai ketidakadilan gender.

Dalam kehidupan politik hal tersebut dapat tercapai bila peran perempuan dan laki-laki dalam posisi yang seimbang.

Dengan keseimbangan itu maka peluang untuk saling menindas semakin kecil.
Demikian juga ketika jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen atau pemerintahan pada umumnya dalam posisi setara (equal), maka kepentingan perempuan tidak akan terpinggirkan, sebaliknya demikian pula kepentingan laki-laki.

Ada tiga metode kuota, yaitu: Pertama, kuota menuntut undang-undang di mana perempuan harus memperoleh sekurang-kurangnya suatu proporsi minimal dari wakil yang dipilih.

Kuota ini dianggap sebagai sebuah mekanisme transisional untuk memperkuat posisi perempuan.

Kedua, partai-partai yang ada didesak untuk menjadikan kandidat perempuan sebagai seorang kandidat yang pasti jadi anggota parlemen. Misalnya, menempatkan perempuan dalam nomor urut jadi pada daftar calon legislatif.

Ketiga, partai politik menentukan kuota informal untuk menentukan jumlah anggota partainya yang berjenis kelamin perempuan untuk duduk di kursi parlemen.

Salah satu strategi partai-partai politik untuk memperebutkan suara perempuan itu adalah dengan menempatkan calon legislatif perempuan dalam daftar calon legislatif.

Ditambah lagi dengan dimasukkan affirmative action yang dilakukan  kaukus perempuan di DPR, LSM dan aktivis perempuan lainnya agar dalam perundang-undangan pemilu dicantumkan ketentuan setiap partai politik mengajukan 30% proporsi untuk perempuan dalam daftar caleg yang diajukan untuk mengikuti pemilu.

Dengan demikian diharapkan akan semakin meningkatkan jumlah anggota DPR perempuan.

Angka kuota 30% ini merupakan critical mass atau jumlah yang dianggap dapat membantu perempuan untuk memberikan pengaruh yang berarti dalam politik.

Dengan 30% tersebut maka perempuan dapat membela dan memperjuangkan isu-isu perempuan yang spesifik ditengah dominasi laki-laki dalam politik.

Selanjutnya menurut, dengan jumlah keterwakilan masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan tidak lebih dari 70%, maka dominasi dan kemungkinan saling menindas dapat dihindari.

Pada dasarnya ada dua kelompok pemikiran dalam gerakan gender berkaitan dengan masalah kesetaraan perempuan dalam sektor publik ini.

Pertama, mengartikan kesetaraan sebagai tidak boleh ada perbedaan perlakuan berdasarkan gender. Kelompok ini cenderung berpendapat bahwa perlakuan khusus terhadap perempuan akan merugikan perempuan sendiri secara gender karena akan berdampak sosial, politik dan ekonomi yang pada ujungnya dipakai untuk melegitimasi diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, tentang perlu tidaknya memberikan perlakuan khusus kepada perempuan karena jendernya, misalnya dengan menghindarkan perempuan pekerja dari pekerjaan shif malam di pabrik karena besarnya resiko baik terhadap fisik maupun psikis perempuan, terutama bagi fungsi reproduksi.

Fungsi ini menyangkut kelangsungan hidup generasi sebuah keluarga maupun bangsa. Kelompok kedua cenderung melihat perbedaan biologis ini mengakibatkan perlunya perlakuan yang berbeda, atau disebut gender “kontekstual”, yaitu bukan kesetaraan dalam arti kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan secara matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil sesuai dengan konteks masing-masing individu.

Kesetaraan ini mengakui adanya faktor spesifik seseorang (perempuan) dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Kesetaraan ini bukan dengan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap individu yang berbeda-beda, melainkan dengan memberikan perhatian yang sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat dipenuhi.

Debat tentang rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik terletak pada dua perspektif tentang perempuan dalam keterwakilan politik, yaitu deskriptif dan subtantif.

Perspektif deskriptif berpandangan bahwa kelembagaan politik merupakan refleksi dari komposisi civil society sehingga dapat merepresentasikan keragaman dalam masyarakat, termasuk gender.

Model keterwakilan deskriptif menghendaki peningkatan kehadiran perempuan dalam kelembagaan selama hal itu merefleksikan proporsi populasi mereka secara lebih baik.

Sedangan konsepsi subtantif atau feminis beralasan bahwa sifat ekseklusif perempuan terhadap kekuasaan politik karena keinginan, tuntutan, dan kepentingan mereka selama ini tidak diartikulasikan dalam arena politik secara baik dan memuaskan. Akibatnya adalah keinginan mempertahankan jumlah perempuan yang terpilih itu sebagai konsekuensi terhadap jumlah populasi perempuan pada umumnya. Dalam pandangan ini, keterwakilan subtantif dari perempuan adalah sinonim dengan keterwakilan feminis.

Argumentasi yang populer dari keterwakilan subtantif perempuan adalah adanya postulat bahwa perempuan, karena alasan gender dan pengalaman pribadi mereka sebagai warga negara kelas dua (second class) di masa lalu, sehingga mereka harus diwakili oleh perempuan. Dengan demikian kecenderungan affirmative action dalam gelaran pemilu mendatang diharapkan dapat terorientasi dengan lenih baik dan menjadi sejarah peradaban bangsa.

** Penulis  adalah Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Paser

Share.
Leave A Reply