Catatan Akhir Tahun IPW 2025 ( Bag. II) “Polri tidak serius mengawal Reformasi Kulturalnya”
JAKARTA, Gerbangkaltim- Institusi Polri tidak serius dan tidak konsisten dalam mengawal reformasi kulturalnya. Hal itu terlihat sangat jelas pada tindakan pembatalan pemecatan (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat/PTDH) anggotanya yang divonis bersalah, kemudian menjadi hukuman demosi melalui sidang di tingkat banding Komisi Kode Etik Profesi (KKEP).
Budaya ini semakin marak setelah kasus meninggalnya Brigadir Josua oleh eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo yang menyeret banyak nama. Dimana banyak anggota mulai dari perwira menengah hingga perwira tinggi terkena hukuman PTDH, yang pada akhirnya dieliminir setelah melakukan banding. Demikian juga, anggota-anggota yang telah mendapat hukuman demosi itu diringankan dan saat ini telah naik pangkat dan jabatan.
Ketidak seriusan dan ketidak konsistenan mereformasi kultural itu menurut Indonesia Police Watch (IPW) disebabkan ada satu praktek di internal Polri yang disebut “Silent Blue Code”. “Silent Blue Code” ini adalah satu praktek yang mentolerir adanya pelanggaran oleh anggota Polri.
Oleh karenanya, dengan adanya desakan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan Reformasi Polri dengan membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie maka institusi Polri wajib menghentikan praktek impunitas maupun “silent blue code”.
Pasalnya, praktek impunitas maupun “silent blue code” tersebut akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap insan bhayangkara yang memiliki falsafah Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman moral dan etika fundamental.
“Seratus Delapan Puluh Derajat”
Perlakuan silent blue code kemudian mengarah kepada impunitas merangkak ini dilakukan terhadap pelanggaran etik dan pada sidang banding setelah adanya vonis pemecatan atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) selaku anggota Polri. Ini merupakan penyelundupan gaya baru, setelah aturan lama yang memberikan peluang bagi atasan langsung untuk mempertahankan anggotanya agar tidak dipecat.
Yang pasti terjadi dalam putusan banding KKEP, kebanyakan adalah putusan PTDH itu diubah “seratus delapan puluh derajad” menjadi hanya demosi. Akibatnya hak-hak selaku anggota Polri tetap melekat. Yang tadinya disuruh buka baju di lapangan dengan suatu upacara resmi dengan ditatap oleh puluhan atau ratusan pasang mata anggota lainnya, akhirnya hanya menjadi sebuah “sandiwara”.
Pasalnya, baju coklat kebanggaannya yang telah dilepas, masih tetap bisa dipakai dalam menjalankan tugas tanpa “rasa bersalah”. Padahal, apa yang dilakukan oleh seorang anggota Polri yang sudah dipecat itu, jelas-jelas telah menciderai Tribrata dan Catur Prasetya.
Fakta paling nyata terjadi pada anggota Polri di Polresta Tangerang. Dua anggotanya yang terlibat narkoba batal dipecat setelah mengajukan banding di Polda Banten.
“Yang bersangkutan mengajukan banding dan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, akhirnya bandingnya diterima. Putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) itu diganti dengan hukuman demosi,” ujar Kasie Propam Polresta Tangerang, AKP Iman Ruspandi, Jumat (16 Desember 2025) seperti yang ditayangkan oleh www.tangerangnews dengan judul: ‘Ajukan Banding Usai Dipecat, 2 Anggota Polresta Tangerang Terjerat Narkoba Cuma Dimutasi”.
Proses penanganan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri cukup panjang. Mulai proses penanganan di Paminal Propam dulu dan ini bisa berbulan-bulan. Kecuali kasus anggota Polri tersebut menjadi viral di media sosial dapat diproses dengan cepat.
Setelah Paminal melakukan Penyelidikan dengan hasil akhir dibuat laporan hasil penyelidikan (LHP). Bila ada dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota maka akan diteruskan ke Bagian Pertanggungjawaban Profesi (Wabprof) Propam. Disini, dilakukan investigasi mendalam mengenai pelanggaran kode etik Polri, sebelum dilakukan Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) yang majelisnya juga anggota Polri sebagai perwujudan menegakkan etika profesi secara tegas dan akuntabel.
Kalau anggota melakukan pelanggaran berat maka sidang KKEP menjatuhkan Hukuman PTDH, namun pelanggar diberikan kesempatan untuk mengajukan banding. Di titik inilah menjadi celah permainan, kesalahan pelanggaran berat itu bisa dihapus dan pelanggar terbebas dari hukuman pemecatan sebagai anggota Polri.
Banyak kasus PTDH Disembunyikan
Dari catatan IPW, banyak kasus yang sudah terpublikasi dan putusan sidang KKEP menyatakan PTDH terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota, hilang dan disembunyikan begitu saja tanpa kelanjutan hasil sidang banding KKEP.
Oleh sebab itu, IPW mengusulkan kepada Komisi III DPR memanggil Kapolri untuk membuka praktek impunitas dan “silent blue code” terhadap anggota Polri yang telah dipecat itu telah dibatalkan. Ini sebagai masukan buat Komisi III DPR yang telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Dalam kasus pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) oleh anggota satuan resnarkoba Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat dan Polsek Kemayoran, Komisi III DPR dalam saat memaparkan Catatan Akhir Tahun 2024 mengapresiasi komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menindak dan memberikan sanksi tegas kepada anggotanya yang melakukan pelanggaran.
Namun dari kelanjutan sanksi PTDH dan demosi tersebut, Komisi III tidak tahu kelanjutan personil setelah yang diberi sanksi melakukan banding? Apakah mereka yang di PTDH itu diputus bebas atau tetap dipecat sebagai anggota Polri? Apakah proses pidananya berjalan atau tidak?
Pada kasus DWP, KKEP telah memutuskan tiga anggota Polri dipecat (PTDH) yakni mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald Simanjuntak, mantan Kasubdit III Dirresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia, dan Eks Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKP Yudhy Triananta Syaeful.
Sementara tiga anggota lainnya hanya terkena sanksi demosi delapan tahun yakni Kompol Dzul Fadlan mantan Kanit 5 Subdit 2 Ditresnarkoba Polda Metro, Iptu Syaharuddin mantan Panit 1 Unit 2 Subdit 3 Ditresnarkoba PMJ, dan Iptu Sehatma Manik mantan Bhayangkara Administrasi Penyelia Bidang Subdit 3 Ditresnarkoba PMJ.
Sedang lima anggota terkena demosi lima tahun yaitu Brigadir Fahrudun Rizki Sucipto mantan Bintara Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Aiptu Armadi Juli Marasi Gultom mantan Banit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba PMJ, Kemudian Bripka Wahyu Tri Haryanto mantan Banit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba PMJ, Briptu Dwi Wicaksono mantan Banit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba PMJ, dan Bripka Ready Pratama mantan Banit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba PMJ,
Sementara dalam kasus pemerasan terhadap tersangka pembunuhan dan pemerkosaan oleh anak bos Prodia, Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo, sidang majelis KKEP telah mem-PTDH tiga orang yakni mantan Kasatreskrim Polres Jaksel AKBP Bintoro, mantan Kanit Resmob Satreskrim Polres Jaksel AKP Zakaria dan mantan Kanit PPA Satreskrim Polres Jaksel AKP Mariana. Sedang dua orang lainnya yaitu AKBP Gogo Galesung yang juga eks Kasatreskrim Polres Jaksel. Namun Gogo dan Ipda Novian Dimas selalu Kasubnit Resmob Satreskrim Polres Jaksel hanya mendapat hukuman demosi delapan tahun dan tidak boleh bertugas di penegakan hukum.
Kasus-kasus yang ada melibatkan anggota Polri tersebut, jelas luput dari pengawasan anggota DPR yang memiliki hak konstitusional. Sehingga pendalaman terhadap pelaksanaan PTDH setelah anggota melakukan banding dan berkeputusan final itu, sangatlah dibutuhkan sebagai salah satu pembenahan terhadap institusi Polri.
Indonesia Police Watch (IPW) berpendapat bahwa keputusan PTDH merupakan bentuk keseriusan Polri dalam menjaga marwah institusi. Pasalnya, oknum-oknum anggota Polri tersebut, tidak hanya melanggar aturan yang menciderai nilai-nilai dasar kepolisian.
Akibat praktek adanya perlindungan tersebut, IPW mendukung langkah ICW dan Kontras yang melaporkan 42 anggota Polri yang terindikasi melakukan dugaan tindak pidana korupsi. (***)
Sugeng Teguh Santoso , Ketua Indonesia Police Watch
BACA JUGA
