JAKARTA, Gerbangkaltim.com – Media Jepang, Nikkei, pada 3 Mei lalu mewartakan NATO akan membuka kantor penghubung di Jepang tahun depan. Kantor ini nantinya berfungsi sebagai tempat NATO mengadakan koordinasi kebijakan politik, militer dan keamanan bersama mitranya di Asia Pasifik, yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.

Pembukaan kantor penghubung ini dinilai banyak pihak sebagai bagian dari kebijakan strategis NATO di Indo-Pasifik dalam upaya mengimbangi agresifitas China menanamkan pengaruhnya di Asia Pasifik, terutama di Laut China Selatan.

China sendiri melalui juru bicara Kemeterian Luar Negerinya menyatakan perluasan sayap pangaruh NATO di kawasan Asia Pasifik merupakan bentuk campur tangan di kawasan. Dikhawatirkan campur tangan itu akan mengganggu upaya menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.

Menanggapi manuver diplomatik NATO tsb., dimintai tanggapannya secara terpisah, Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Dr. Darmansjah Djumala, MA, menyatakan bahwa pembukaan kantor penghubung NATO di Jepang sebaiknya tidak dilihat dari dimensi fisik saja, yaitu pembukaan kantor baru.

Pembukaan kantor penghubung NATO di Jepang itu harusnya juga dilihat dalam perspektif dinamika rivalitas geopolitik kekuatan global di kawasan.

Dalam pandangannya, Dr. Djumala, diplomat karier yang pernah menjabat sebagai Dubes RI untuk Austria dan PBB di Vienna, Austria, mengungkapkan bahwa memang selama ini di Asia Pasifik tidak ada aliansi militer yang terlembaga atau established seperti NATO di kawasan Eropa. Ketiadaan aliansi militer ini yang mendorong NATO mengambil langkah antisipatif untuk ikut mempengaruhi dinamika politik militer di kawasan Asia Pasifik.

Dubes Djumala lebih jauh mengatakan bahwa manuver NATO ini memiliki keterkaitan strategis dengan aliansi militer yang baru saja dibentuk oleh trio AS, Inggris dan Australia (AUKUS).

Dikatakan lebih lanjut, perkiraannya ini didasarkan pada premise bahwa China dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan sikap yang asertif dan agresif di Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan dan Selat Taiwan.

Oleh karena itu dirinya memperkirakan NATO tidak akan berhenti pada pembukaan kantor penghubung di Asia Pasifik saja. Tapi sangat mungkin dalam jangka panjang NATO akan mengajak AUKUS ke dalam suatu aliansi militer di Asia Pasifik seperti NATO di Eropa.

Dubes Djumala mengingatkan, jika benar nanti pembukaan kantor NATO itu berlanjut pada pembentukan aliansi militer di Asia Pasifik ala NATO di Eropa, maka hal itu akan menambah kompleksitas isu geopolitik dan militer di kawasan Asia Pasifik.

Sebab aliansi militer baru itu akan membuka peluang negara anggota Uni Eropa untuk ikut juga memproyeksikan kepentingan geopolitiknya di kawasan Asia Pasifik. Harus diingat bahwa mayoritas anggota Uni Eropa adalah juga anggota NATO.

Pada titik inilah Indonesia dan mitra strategisnya di ASEAN harus cermat dalam memposisikan diri di tengah-tengah tarikan kepentingan geopolitik negara-negara super power.

Indonesia harus memastikan bahwa ditengah perubahan geopolitik di Asia Pasifik ASEAN harus mengukuhkan diri sebagai faktor yang harus dipertimbangkan oleh negara kuat sesuai dengan konsep ASEAN Centrality. Artinya, di setiap dinamika kawasan ASEAN harus tetap berperan aktif dalam deliberasi isu-isu strategis di kawasan.

“Untuk dapat diperhitungkan sebagai aktor penting di kawasan, Indonesia dan ASEAN harus terus mengembangkan kerjasama ekonomi dengan semua aktor penentu di kawasan Asia Pasifik dengan prinsip equal distance strategy. Strategi seperti ini dapat menghindarkan Indonesia dan ASEAN hanya menjadi sekedar proksi. Tapi lebih sebagai mitra dalam kolaborasi”, kata Dubes Djumala.

Share.
Leave A Reply