Indonesia Perlu Serius Bangun Industri Surya Terpadu untuk Capai Target Energi Terbarukan

Gerbangkaltim.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia didorong untuk segera membangun industri energi surya yang terintegrasi guna mengejar target pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 108,7 GW pada 2060, sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam sejumlah pernyataan, termasuk saat KTT BRICS, menegaskan pentingnya energi terbarukan—khususnya tenaga surya—sebagai langkah strategis menuju kemandirian energi nasional. Bahkan, Presiden optimistis Indonesia dapat beralih 100% ke energi terbarukan dalam satu dekade.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai ambisi tersebut perlu dibarengi dengan langkah konkret di luar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), seperti penguatan rantai pasok industri PLTS dari hulu ke hilir.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat manufaktur PLTS, menggantikan dominasi Tiongkok dalam rantai pasok global,” ujar CEO IESR, Fabby Tumiwa, Selasa (5/8).
Fabby menekankan, kebutuhan teknologi fotovoltaik global terus meningkat, didorong oleh target nol emisi bersih (net zero emission) di berbagai negara. Lokasi strategis Indonesia, ditambah dengan potensi logistik efisien dan sumber daya mineral melimpah seperti pasir kuarsa, menjadi modal kuat bagi Indonesia untuk membangun industri surya nasional.
Melalui kolaborasi dengan Institut Teknologi Indonesia (ITI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), IESR telah menyusun Peta Jalan Rantai Pasok Industri Fotovoltaik Terintegrasi. Kajian ini mencakup strategi peningkatan permintaan dan produksi, pengembangan teknologi, penyelarasan kebijakan, dan penciptaan lapangan kerja.
Alvin Putra Sisdwinugraha, analis sistem energi IESR, menambahkan bahwa Indonesia saat ini sudah memiliki kapasitas produksi sel dan modul surya sebesar 10,6 GW dan 9,5 GW. Namun, tingkat utilisasi masih rendah akibat minimnya permintaan dalam negeri.
Selain penguatan teknologi dan efisiensi industri, kajian ini juga merekomendasikan:
-
Insentif fiskal dan nonfiskal,
-
Reformasi regulasi pengadaan dan tarif,
-
Harmonisasi bea masuk komponen PLTS,
-
Preferensi harga untuk produk lokal.
Dalam jangka panjang, IESR mendorong pembentukan konsorsium nasional energi surya sebagai langkah strategis untuk mempercepat integrasi dari hulu ke hilir. Indonesia juga perlu memperkuat kolaborasi kawasan seperti AFTA, mempercepat otomatisasi pabrik, hilirisasi bahan mentah, serta mendorong pembiayaan dan investasi asing yang mendukung alih teknologi.
IESR menegaskan bahwa industri surya yang kuat tidak hanya menopang transisi energi, tetapi juga membuka peluang ekspor teknologi dan pendapatan baru pasca-batu bara.
Sumber: Institute for Essential Services Reform (IESR)
BACA JUGA