Kemerdekaan suatu negara memiliki arti penting bagi suatu bangsa ‘diakui’ di mata negara lain, tanpa terkecuali ‘diakui’ di mata rakyatnya sendiri.

Kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah memasuki usia ke-77 tahun ini pun masih dihadapkan dengan aral nan terjal dari beragam persoalan keadilan subtantif dan keadilan prosedural.

Utamanya prilaku etika dan moral struktural serta kultural bangsa Indonesia harus masif, sistematis dan terstruktur berkarakter inklusif tidak mementingkan diri sendiri, menghargai segala perbedaan sebagai suatu kekuatan berbangsa dan bernegara serta berpegang teguh pada Ketuhanan YME.

Namun, tampaknya optimisme karakter inklusif sedang diuji, salah satunya lewat kasus yang sedang ‘panas’ mewarnai headline pemberitaan media massa dan segala penjuru dunia maya di Indonesia.

Kasus kriminal yang terjadi di tubuh penegak hukum, seakan masalah tersebut terus di tarik ulur, bahkan terkesan di tutup-tutupi untuk menjaga citra baik penegak hukum.

Lain cerita, jika hal itu terjadi di kalangan masyarakat biasa atau umum, pengungkapan kasusnya seakan dijadikan sebagai prestasi nan maha dahsyat luar biasa, disebarluaskan ke khalayak demi dongkrak popularitas.

Itulah mengapa hakikat kemerdekaan itu adalah ‘diakui’ dan ‘mengakui’ menurut Muchtar Amar, SH selaku Pemerhati Politik dan Hukum ‘PATIH’ di Penajam melalui Whatsapp kepada wartawan Senin, 15/08/2022.

“‘Mengakui’ persoalan-persoalan terkesan tebang pilih di-urai, jika ‘diakui’ merasa berkepentingan atas persoalan itu, maka akan di-urai, jika atas persoalan itu ‘mengakui’ tak merasa berkepentingan, maka tak perlu di-urai atau bahkan dibiarkan ditutup-tutupi, serta bisa juga sebaliknya”, terang dia.

Seolah tak ada persoalan, “fenomena ini jadi rahasia umum di masyarakat, tapi jangan seolah-olah masyarakat tak mampu menilai persoalan itu, saya yakin mereka mampu”, lanjut dia menerangkan.

Kemerdekaan masih menjadi pertanyaan besar bagi sebahagian masyarakat Indonesia, utamanya ‘diakui’ masyarakat golongan menengah ke bawah.

Misalnya penegakan hukum, yang di-ibaratkan ‘tajam ke bawah tapi tumpul ke atas’, ataupun dapat terjadi pula dalam penyusunan kebijakan ‘tak kenal maka tak di sayang atau tak satu jaringan operator maka jaringan harapan impian terganggu’.

“ini fenomena yang syarat dengan ketimpangan dan kepentingan, tak menggubris nilai-nilai juang kemerdekaan yang berusia 77 tahun, idealnya kan mengakui kemerdekaan sekaligus di-aplikasikan, yakni objektifitas kesetaraan hak serta kewajiban yang sama terurai”, tegas dia.

Dia menambahkan bahwa “hak serta kewajiban yang sama dimandatkan ini, ditauladani lah oleh publik pigur dengan baik, jangan ‘diakui’ dan ‘mengakui’ berwenang, tapi ‘diakui’ tak baik pelaksanaannya dan tetap dibiarkan, nilai-nilai kemerdekaan runtuh jika masyarakat berjuang seperti pra-kemerdekaan di negara sendiri”.

Sudut pandang masyarakat dalam menilai kemerdekaan, diyakini masih beranggapan berat sebelah atau tak seimbang.

“jadi jika kita saling ‘diakui’ dan ‘mengakui’ serta menghormati perbedaan dengan kesamaan hak serta kewajiban tupoksi, itu namanya kemerdekaan, output dari sinergitas inklusif dengan rakyat ya, terus gimana hakikat kemerdekaan menurut mu?”, pungkasnya kepada wartawan.

Share.
Leave A Reply