Porak Poranda Relokasi Pedagang: Ketika Keputusan Tak Berdiri di Atas Riset

H. Irma Jaya

( Pemerhati Kebijakan Publik)

 

DI antara hiruk-pikuk pembangunan dan janji pemulihan ekonomi pasca-pandemi, terselip satu kisah yang memilukan: relokasi pedagang eks wisata belanja (wisbel) Jalan Sudirman ke Wisata Belanja Sungai Tuak Tanah Grogot.

Langkah yang mestinya berpihak pada penguatan UMKM, justru berujung porak poranda. Lapak-lapak kuliner yang sempat menggeliat di Wisbel Sungai Tuak kini bubar tanpa jejak. Semangat pedagang untuk bertahan dan bangkit pupus begitu saja—tertelan oleh keputusan sepihak yang diambil tanpa kajian memadai.

“Kami disuruh pindah. Katanya di tempat baru lebih strategis. Tapi sejak awal pembeli tidak datang. Sekarang malah sepi total,” ujar salah satu pedagang yang terdampak, dengan nada kecewa.

Antara Egoisme Kebijakan dan Ketidaksiapan Lokasi

Apa yang sesungguhnya terjadi? Relokasi dilakukan oleh pemerintah daerah melalui dinas terkait, namun tanpa riset awal yang matang. Lokasi baru—meski di bawah jembatan yang dilintasi kendaraan setiap hari—ternyata tidak menjawab syarat dasar berjalannya sebuah sentra kuliner: interaksi yang mudah antara pedagang dan pembeli.

“Yang dijual itu bukan cuma makanan, tapi juga pengalaman. Kalau tempatnya tidak nyaman, akses sulit, siapa yang mau datang?” ujar seorang warga Tanah Grogot yang dulunya rutin berkunjung ke kawasan kuliner lama.

Mengabaikan Ilmu, Menyisakan Luka

Dalam dunia manajemen, penentuan lokasi usaha (plant location) bukan perkara selera, melainkan hasil dari analisis menyeluruh: ketersediaan SDM, potensi pasar, aksesibilitas, hingga potensi ekonomi jangka panjang. Hal yang seharusnya menjadi ranah Bappedalitbang dan dikerjakan secara lintas-OPD, malah diduga kuat diputuskan secara instan dan sektoral.

Akibatnya? Kegagalan yang bukan hanya menyisakan trauma, tapi juga menggoyang kepercayaan publik terhadap profesionalisme pengelolaan daerah.

Menata Ulang Harapan yang Tersisa

Kini, setelah semuanya porak poranda, saatnya pemerintah bersikap dewasa: akui kesalahan, dan segera hadirkan solusi nyata. Tidak cukup hanya meminta maaf, perlu tindakan konkret yang menjamin keberlanjutan usaha para pedagang kecil. Bila tidak, kehadiran Kementerian UMKM dan segala stimulus ekonomi yang sudah digelontorkan pusat akan menjadi sia-sia.

“Pemerintah pusat mati-matian mendorong UMKM, di sini malah seperti mematikan,” kata seorang tokoh masyarakat dengan nada getir.

Solusi harus dirancang dengan pendekatan interdisipliner: ada peran perencana wilayah, ahli manajemen, sosiolog, hingga pelaku usaha sendiri. Karena kebijakan yang menyentuh perut rakyat tak bisa dibangun hanya dengan asumsi. (red)

Tinggalkan Komentar