1

Banjir Berita Hoaks di Negeri Sendiri, Banjir Rupiah ke Kantong Siapa?

BERITA hoaks (bahasa Inggris: hoax)atau berita bohong seperti  yang diprediksi makin menggila menjelang Pemilihan Umum Serentak tahun 2019. Makin mendekati puncak Pemilu yang ditandai dengan hari H pencoblosan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD pada 17 April nanti, diprediksi berita hoaks makin meningkat. 

Berita hoaks yang sangat heboh mengawali tahun 2019 yakni
kabar adanya 7 petikemas berisi surat suara pemilihan presiden yang sudah
dicoblos  di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta pada 2 Januari 2019. Kabar hoaks 
ini menyebar dengan cepat melalui grup-grup WA (WhatsApp).

Esok harinya disusul dengan beredarnya  rekaman suara yang seakan-akan menguatkan
berita sebelumnya. Tentu kabar ini menjadi viral, baik di WA yang merupakan
grup tertutup, maupun di FB (Facebook) yang banyak digunakan untuk media
berbagi kepada publik. Tak ketinggalan kabar hoaks yang dikemas berupa  video di Youtube juga bertebaran di mana-mana.

Penulis juga mendapatkan kiriman berita hoaks  beserta rekaman suara seorang laki-laki: “Ini sekarang ada 7 kontainer di Tanjung Priok sekarang lagi geger, mari sudah turun. Dibuka satu. Isinya kartu suara yang dicoblos nomor…”

Sungguh dari nada suaranya sangat menyakinkan. Apabila kabar
ini diterima mentah-mentah oleh masyarakat umum, bisa dipastikan langsung
dipercaya. Bahkan penulis sempat berdebat tentang kebenaran isi rekaman itu
dengan rekan yang  mengirim  di WA. Tetapi, tetap saja rekan penulis
bersikukuh  dengan pendapatnya tentang
berita dan rekaman yang dikirimnya.

 Esoknya, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai institusi
yang terkait bergerak cepat. Pejabat dari insititusi ini melakukan pengecekan
ke Tanjungpriok dan ke Bea Cukai terkait apakah ada kiriman 7 petikemas
tersebut. Hasilnya, berita itu dipastikan  hoaks. Sebab, fakta-fakta di pelabuhan dan
dokumen di Beacukai tidak ada sama sekali seperti yang dikabarkan.

Masyarakat sedikit tenang, tetapi masih banyak spekulasi
apakah ini cuma akal-akalan beberapa pihak? Atau memang hanya sebuah kabar hoaks
yang dihembuskan oleh kelompok tertentu? Atau seseorang dengan tujuan untuk
menggoyang tahapan pesta demokrasi 2019?

Aparat kepolisian dengan patroli cyber  sudah bergerak jauh ke depan hingga ke seluruh penjuru negeri. Pada 5 Januari 2019, dua orang terduga penyebar hoaks ditangkap di dua daerah berbeda, yakni di Bogor, Jawa Barat dan Balikpapan, Kalimantan Timur. Yang mengejutkan, sosok terduga penyebar hoaks di Balikpapan kabarnya seorang wanita berpendidikan tinggi.  Wanita ini diduga menerima berita hoaks dari salah satu grup WA yang diikutinya, dan kemudian disebarkan melalui akun FB-nya.

Ilustrasi penyebaran berita di medsos. (sumber: airfreshener.club)

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa warga pengguna medsos
akan berlomba-lomba menjadi orang pertama yang menyebarkan berita “heboh” atau
berita “wow”. Info itu dikirim kepada rekan-rekannya melalui medsos yang
dimiliki, seperti FB, maupun grup-grup WA.

Mereka kadang tidak terlalu peduli tentang isi berita yang
disebarkan, melainkan menantikan pujian berupa komentar yang di FB dikenal
dengan jumlah “like” atau orang yang menyukai apa yang diposting. Begitupula di
WA, semakin banyak yang memuji dan acungan jempol, maka pemilik akun akan semakin
bangga.

Bisa pula mereka menyebar berita yang belum tentu sumbernya,
tetapi dia yakini benar itu agar sahabatnya maupun saudara-saudaranya
mengetahui. Apalagi bila berita itu menyangkut kehidupan sehari-hari mereka.
Misalnya soal berita kecelakaan yang membuat kemacetan, sehingga agar mencari
jalur jalan alternatif. Atau tentang berita banjir, bencana alam sehingga
penyebar berita merasa perlu untuk memberitahukan kepada keluarganya, sebagai
rasa peduli.

Berbeda lagi dengan peran admin media sosial. Biasanya
mereka akan menjaga konsistensi akun medsosnya agar makin banyak anggota
grupnya dan makin ramai lalulintas informasi yang berlangsung antar anggota.
Untuk itu, biasanya sang admin akan berusaha mencari bahan-bahan untuk
diposting di grupnya, agar menarik bagi anggotanya. Biasanya bisa berupa
info-info umum, info kesehatan, makanan, humor bahkan menyangkut  lebih spesifik seperti penerapan peraturan baru
di masyarakat.

Keberadaan media sosial di masyarakat  bak pedang bermata dua. Bisa untuk kebaikan
dan sebaliknya, membuat kegaduhan dan menyesatkan masyarakat. Sebuah grup
alumni sebuah sekolah, tentu sangat bermanfaat mengumpulkan puluhan mantan
murid sekolah tersebut dalam waktu singkat, nyaris tanpa biaya.

Komunikasi dua arah yang biasanya harus menggunakan telepon biasa, kini para anggotanya sangat mudah menggunakan telepon dan video call gratis yang tak dibatasi jarak lagi, dalam negeri bahkan luar negeri. Tanpa mengenal waktu alias 24 jam sehari.

Banyak lahir usaha-usaha rumahan yang sukses justru
menggunakan media sosial dalam penjualannya.  Produsen kelas usaa kecil dan menengah bisa
menembus konsumen yang jauh dan banyak yang selama ini tidak dikenalnya. Belum
lagi, usaha-usaha skala menengah besar yang juga ikut memanfaatkan media sosial
sebagai basis strategi penjualannya.

Ilustrasi berpikir dua kali sebelum berbagi di medsos. (sumber:airfreshener.club)

Grup-grup admin medsos yang mengelola secara profesional
juga dapat memetik keuntungan yang tidak sedikit, dari hasil pemasangan info
berbayar, dan iklan berupa banner foto promosi.

Di sisi lain, ada oknum admin yang secara sengaja memanfaatkan akunnya untuk melakukan beragam penipuan, maupun penyebaran berita hoaks.  Dengan memanfaatkan teknologi yang dapat dipelajari secara mudah di dunia maya, oknum admin bisa melakukan kegiatannya dengan mulus, nyaris tak terendus aparat. Ada istilah mereka menggunakan banyak akun, atau beternak akun. Bahkan hal ini dapat dengan mudah dikamunflase menggunakan  Internet Protocol (IP) address (identitas numerik pada komputer) luar negeri.

Mabes Polri melalui patroli cyber sudah mampu mendeteksi dan melacak akun-akun yang bertidak sebagai penyebar hoaks. Bahkan dengan menelusuri digital forensik akan mengarah kepada sumber utama terduga pembuat berita hoaks, hingga penelusuran kepada sang pemesan.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal
Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, rata-rata setiap tahunnya penyebaran
berita hoaks di Tanah Air mencapai 800 ribu. Kementerian Kominfo pada tahun
2017 mendata telah memblokir sekitar 6.000 situs penyebar hoaks di media
digital.

Data aduan konten negatif di aplikasi Whatsapp. (sumber: kominfo.go.id)

Harga Satu Berita Hoaks Hanya 300 Ribu, Tetapi …

Dalam sebuah perbincangan penulis dengan rekan jurnalis dari
ibukota beberapa waktu lalu, terungkap bahwa sebuah berita hoaks akan dihargai
sekitar Rp300 ribuan. Biasanya sang pemesan cuma memberikan sebuah tema, dan
admin yang mengkreasikan dalam format medsos.

Terlihat kecil nilainya, tetapi justru ketika berita hoaks
diposting ke medsos dan mendatangkan banyak like
(suka, Red) dan komentar maka di sinilah akan mendatangkan pundi-pundi bagi
admin. Satu like bisa dihargai sampai 100 ribu. Jumlah like pun dapa dipantau
secara transparan, sehingga antara admin dan yang memesan bisa menghitung
berapa nilainya uangnya. Bisa dibayangkan bila yang meng-like hingga seribu orang maka admin bakal mengantongi hingga
seratusan juta rupiah.

ilustrasi internet aman di tangan Anda. (sumber:airfreshener.club)

Tentu tidak banyak admin yang tergiur dalam bisnis ini,
karena akan meruntuhkan reputasinya di dunia medsos selamanya. Nama baik akan
hancur, dan tidak dipercaya lagi oleh para pengikutnya. Yang lebih parah akan berhadapan
dengan pihak berwajib, dan bisa dijebloskan ke penjara. Bagi pembuat dan penyebar
berita hoaks bisa dikenakan hukuman yang diatur dalam KUHP, dan dalam Undang
Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
maupun undang-undang lainnya.

Sejak diberlakukan UU ITE tersebut sudah banyak penyebar
berita hoaks yang dibawa ke meja hijau dan dijatuhi hukuman sesuai pasal yang
dilanggar. Kendati demikian, produksi berita hoaks tetap ada yang cenderung
meningkat. Upaya Menkoinfo untuk memblokir situs-situs penyebar hoaks merupakan
tindakan nyata, namun usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat agaknya jauh
lebih penting agar semua sadar dan tidak tergiur memproduksi berita hoaks, atau
menyebarkan berita hoaks.  

Jangan kotori jari-jari kita dari berita hoaks, karena hanya
akan membuat kegaduhan di masyarakat, menambah dosa kita yang harus
dipertanggung jawabkan secara hukum maupun sesudah meninggal kelak.  Yang lebih mengenaskan, berita hoaks yang kita
produksi  atau yang disebarkan baik
secara sengaja maupun tidak justru menguntungkan segelintir orang yang sengaja
meminjam jari-jari kita tanpa kita sadari.

Tri Widodo

Jurnalis tinggal di Balikpapan