Oleh : Dr. Kasrani, M.Pd*

Sejak beberapa tahun yang lalu penyelenggara pendidikan di Indonesia baik sekolah negeri maupun swasta, menyelenggarakan pendidikan karakter. Pendidikan ini berkembang karena para pakar pendidikan di Indonesia mengakui bahwa sistem pendidikan yang telah ada, khususnya dalam bidang kepribadian (karakter) telah gagal dilakukan. Kegagalan ini setidaknya diperkuat oleh pendapat I Ketut Sumarta, seorang yang telah lama bergelut dalam dunia pendidikan.

Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan yang Memekarkan Rasa, ia mengatakan: “Pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Seorang penyair Arab Syauqi Bey pernah berkata bahwa “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlak/ karakternya.

Jika itu telah runtuh, maka runtuh pulalah bangsa itu.” penyair Arab ini sangat relevan dengan hadis Rasulullah bahwa “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti (HR Ahmad).” Ciri dasar yang membedakan dengan makhluk lainnya (termasuk binatang) adalah akhlak.

Pendidikan Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris “character” dan Indonesia “karakter”, Yunani “character” (dari charassein) yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.

Selanjutnya, karakter menurut Ryan dan Bohlin mengandung tiga unsur pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good) (Majid dan Dian Andayani, 2011: 11). Hal yang sama dengan pandangan ini adalah Thomas Lickona yang menyatakan bahwa pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik” tetapi juga “merasakan dengan baik” atau loving good (moral feeling), dan “perilaku yang baik”.

Jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan. Kegiatan berpuasa berjamaah pada bulan Ramadhan memiliki kelebihan ibadah lainnya dalam Islam karena sifatnya yang pribadi dan tersembunyi alias tidak terlihat oleh pandangan kasat manusia. Allah dalam sebuah hadis qudsi seperti yang tercantum dalam kitab Bukhari dan Muslim berfirman bahwa puasa adalah milik Nya yang pribadi dan Ia pun akan memberikan pahala secara spesial dan pribadi kepada hamba-hambanya yang diterima amal ibadah puasanya.

“Puasa itu untuk-Ku, karena itu Akulah yang akan memberi ganjaraannya langsung!” (Bihar al-Anwaar 96: 255). Moment Ramadhan dapat pula menjadi sebuah agenda sekolah untuk melakukan pembinaan karakter, dengan media puasa ini, siswa diharapkan dapat ingat dan mau kembali kepada jati dirinya yang suci dan luhur dengan hadirnya kembali nilai-nilai kemanusian yang arif dan bijak.

Ketika nilai fitrah manusia tersebut muncul kembali, maka nilai persamaan dan solidaritas atas penderitaan sesama makhluk hidup akan dapat hadir kembali mewarnai hari-hari anak, seiring nilai-nilai yang diajarkan dalam media puasa. Puasa bulan Ramadhan punya maksud dan nilai yang sangat mulia pada pembentukan karakter siswa yang shaleh. Puasa memiliki dimensi garis horisontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, menyantuni orang d}uaa>fa>, sabar dalam menerima cobaan.

Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial. Puasa sebenarnya sarat dengan pesan etika kesalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolongmenolong.

Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial, kepekaan sosial ini akan kita temukan dengan gamblang saat orang yang berpuasa diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah di penghujung akhir puasanya sebagai media penyempurna ibadah puasanya. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.

Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari- hari. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik.

Puasa diharapkan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional). Dengan demikian di Bulan Puasa Ramadhan 1443 H diharapkan akan melahirkan siswa-siswi berkarakter di Kabupaten Paser, yang tentunya akan mendukung Visi Bupati Paser mewujudkan Paser MAS (Maju, Adil dan Sejahtera)

*Ketua 1 Komisi Nasional Pendidikan Kaltim

Share.
Leave A Reply