Balikpapan, Gerbangkaltim.com – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan menyatakan mulai Januari – Oktober 2021 jumlah korban kekerasan anak dan perempuan ada sebanyak 45 orang.

“Jadi banyak kan menjadi raja kekerasan asusila. Kasusnya cenderung kenaikan. Karena kalau bicara naik mendekati Desember. Tetapi kasusnya pada November ini sudah mendekati di tahun sebelumnya. Tahun sebelumnya 56 korban,” ujar Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Sri Wahyuningsih, usai membuka pelatihan manajemen kasus kekerasan anak dan perempuan, Selasa (2/11/2021).

Sri Wahyuningsih mengungkapkan, bahwa kasus kekerasan anak dan perempuan
selama masa pandemi yang dilaporkan UPTD PPA mengalami kenaikan. Dimana 97 persen kasus itu korbannya adalah kekerasan terhadap anak.

“Kemudian dari anak ini bahwa 94 persen jenis kasusnya korbannya adalah anak. Jenis kasus tindak asusila cabul maupun seksual. Entah dilakukan suka sama suka atau menjadi korban dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” paparnya.

Dengan melihat kondisi inilah, maka Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan berupaya untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) lembaga penyedia layanan perempuan dan anak korban kekerasan, melalui pelatihan manajemen kasus.

“Sasaran dari pelatihan kali ini adalah lembaga penyedia layanan perempuan dan anak korban kekerasan. Seperti UPTD PPA, penyidik yang selama ini berkecimpung dalam kasus kekerasan anak dan perempuan Polres, Polda Kaltim, Bapas dan Kejaksaan,”tegasnya.

Adapun narasumber dari pelatihan, katanya, adalah pakar hukum pidana yang selama ini menjadi saksi ahli terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak.

Kegiatan manajemen ini mengambil materi mengenai asusila cabul karena ternyata banyak sekali aduan masyarakat mengenai kasus tersebut.

“Kalau mengadukan asusila cabul yang tidak sampai pada penetrasi itu ternyata oknum pelakunya lepas dari jeratan hukum. Karena pihak penyidik selalu berada pada ilmunya bahwa minimal dua alat bukti harus terpenuhi,” jelasnya.

Sri Wahyuningsih mencontohkan salah satunya visum begitu divisum hasilnya negative atau positif. Karena korban setelah dipegang atau dicium bagian tubuhnya tidak ada buktinya. Kemudian apabila diminta saksi siapa yang mau melakukan perbuatan ditempat umum.

“Makanya karena aduan masyarakat itu meminta keadilan sampai sejauh mana keadilan ini ditegakkan. Sehingga kami hadirkan saat ini tindak hukum pidana dengan ulasan strategi pengungkapan alat bukti,” ucapnya.

Sehingga alat bukti itu bukan hanya visum. Seperti saksi ahli, psikolog yang mendampingi korban ada efek trauma dan lain-lain bisa menjadi saksi. “

Supaya keadilan bisa ditegakkan dari korban kekerasan perempuan dan anak. Jadi ini peningkatan kompetensi dari penyidik maupun UPTD PPA di kota Balikpapan,” tutupnya.

Share.
Leave A Reply