SEORANG ibu yang usianya sudah lansia sekitar 70-an tahun, tampak datang di sebuah poli jiwa di sebuah rumah sakit di Balikpapan. Di tangannya ada beberapa lembar kertas pengantar yang akan dikasihkan ke dokter spesialis jiwa.

“Siapa yang sakit? Mau minta obat ya pak?”

Saya cukup kaget, disapa oleh ibu ini. Padahal saya dari tadi memang mencari tempat yang agak jauh dari kumpulan pasien dan keluarganya yang juga sedang antre menunggu dokter. Ibu ini pun duduk di deretan bangku saya. Dia bercerita, yang sakit adalah anaknya.

“Saya minta obat untuk anak saya. Di rumah sudah mau habis. Kata bu dokter gak boleh sampai habis. Nanti kambuh lagi (sakitnya),” ceritanya.

Rupanya ibu ini sudah biasa datang ke Poli yang letaknya agak tersembunyi di lantai II. Dia minta obat ke dokter untuk anaknya yang sakit. Dia cerita, bila sang anaknya sebenarnya sudah jauh lebih bagus kondisi kesehatannya. Hanya saja agak repot bila diajak periksa ke poli rumah sakit milik Pemerintah Provinsi ini. Pasalnya kondisi anaknya belum stabil. Jadi kalau diajak naik angkot (taksi kota) ke rumah sakit, agak merepotkan. Selain itu ongkosnya juga jadi dua kali lipat. Belum lagi keluar uang untuk beli makan dan minum selama menunggu di rumah sakit.

“Saya ini dulu udah habis banyak.. (biaya, Red). Ya ke beberapa orang pintar di Balikpapan, Paser, Samboja (Kukar). Pokoknya ada yang bilang di sana ada orang yang bisa mengobati, saya usahakan ke sana. Eee.. kok gak sembuh-sembuh. Ternyata dia pakai narkoba sama teman-teman di kampung” ceritanya.

Cerita Bergambar soal narkoba. (sumber: bnn.go.id)

Anaknya yang sakit memang tidak remaja lagi. Punya istri dan dikaruniani seorang putra. Hanya saja,  terpaksa ditinggal sang istri pulang ke orangtuanya. Sejak sakit, praktis tidak mampu menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya yang seharusnya tinggal menikmati hari tua, kini masih direpotkan mengurus anak laki-lakinya yang tidak kecil lagi. Seperti pepatah, kasih anak sepanjang galah. Kasih ibu, sepanjang masa. Itulah yang terjadi.

“Dulu waktu parah-parahnya sering ngamuk. Beberapa kali harus dibawa ke Samarinda (RSJ, Atma Husada Mahakam). Alhamdulillah sekarang cukup kontrol di Balikpapan dan nyambung obat saja,” ucap ibu ini sembari pamit memasukkan berkas kepada petugas administrasi Poli yang baru saja masuk ruangan.

Secuil cerita seorang ibu dengan anak yang kini sedang dalam masa penyembuhan akibat narkoba, gambaran nyata bagaimana narkoba merenggut kebahagiaan keluarga. Banyak ibu-ibu yang juga mengalami hal serupa. Banyak keluarga-keluarga yang tercabik-cabik kebahagiaannya akibat narkoba. Jumlahnya tidak hanya puluhan, tapi banyak. Hanya saja tidak banyak yang terekspose di media.

Lihat saja bagaimana penuh sesaknya Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di Kaltim. Mereka yang tersangkut kasus narkoba, meringkuk di dalamnya. Belum lagi mereka yang baru ditangkap dan masih menghuni ruang-ruang tahanan polisi, sembari menunggu proses hukum.

Jumlah Tahanan dan Narapidana Narkoba Melonjak

Data Sistem Data Pemasyarakatan (SDP) per akhir Januari 2019 di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM, menunjukkah jumlah tahanan dan narapidana di Kantor Wilayah (Kanwil) Kalimantan Timur mencapai 12.129 jiwa, terdiri dari 2,785 tahanan dan 9,344 jiwa sebagai narapidana. Padahal kapasitas ruang di Rutan dan Lapas hanya 3,586 jiwa, atau terjadi over kapasitas 338 persen.

Upaya meredam peredaran narkoba dan menangkap para pelakunya di Kaltim oleh aparat kepolisian yakni Polda Kaltim dan jajarannya terus digencarkan. Hal ini sebagai upaya menyelamatkan generasi penerus bangsa dari pengaruh buruk narkoba.

Ilustrasi pengungkapan Narkotika 4 KG di Ruang Dit Resnakoba Polda Kaltim.(sumber: poldakaltim.com)

Seperti dalam paparan akhir tahun 2018 lalu, Polda Kaltim telah mengungkap 1.555 kasus peredaran narkoba, dan 81 persennya atau sebanyak  1.268 kasus berhasil dituntaskan hingga ke pengadilan atau vonis hukum.  Jumlah tersangkanya sebanyak 1.754 pria, dan 147 perempuan. 

Sementara itu dibanding tahun tahun 2017 Polda Kaltim telah mengungkap 1.486 kasus dari 1.767 kasus atau 84 persen kasus peredaran narkoba yang ditangani. Dari data ini terlihat ada penurunan, karena pada tahun 2018 ada pemecahan wilayah Polda Kaltim dengan Polda Kaltara.

Yang menarik, kendati jumlah kasusnya menurun, tetapi barang bukti narkoba yang berhasil diamankan justru mengalami kenaikan. Seperti yang terjadi pada tahun 2018, jumlah narkoba yang diamankan sebanyak 28 kilogram, sementara pada tahun 2017 sebanyak  21 kilogram, atau mengalami kenaikan 7 kilogram. Kasus narkoba menjadi kasus yang paling menonjol dibanding kasus-kasus lain di wilayah Polda Kaltim.

Hukuman bagi Pengedar dan Pengguna

Seperti yang tertuang dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA, terdapat sejumlah pasal yang bisa dikenakan kepada mereka yang tersangkut kasus narkoba baik sebagai pengedar maupun pengguna. Ancaman itu terdapat dalam BAB XV KETENTUAN PIDANA.

Khusus bagi orang yang mengedarkan, menyalurkan, memiliki, menguasai, menjadi perantara, menyediakan, memperjual-belikan, mengekspor-impor narkotika tanpa izin pihak berwenang dapat dikenakan sanksi pidana penjara antara 2 (dua) sampai 20 (dua puluh) tahun. Bahkan sampai pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup tergantung dari jenis dan banyaknya narkotika yang diedarkan, disalurkan atau diperjual belikan. Hal ini dapat dilihat dalam: Ketentuan Pidana dari Pasal 111 sampai Pasal 126 UU Narkotika.

Sebagai contoh pada Pasal 111

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1l3 (sepertiga).

Berikutnya pada Pasal 112

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1l3 (sepertiga).

Sedangkan contoh  hukuman terberat yakni hukuman mati yang tercantum dalam Pasal 116 yaitu:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1l3 (sepertiga).

Lain lagi bagi pengguna, atau pecandu dan penyalahguna narkotika. Mereka wajib mendapatkan rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Seperti diatur dalam Pasal 54 UU Narkotika yaitu: “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”

Lengkapnya seperti yang tercantum dalam Pasal 127 yaitu:

(1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Terkait rehabilitasi ini, telah dikeluarkan sebuah aturan yang disusun bersama oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia dan telah diatur dalam peraturan masing-masing lembaga.

Ilustrasi, tahanan di salah satu Polres wilayah Polda Kaltim. Sebagian besar terkait kasus narkoba. (sumber: poldakaltim.com)

Khusus untuk menangani  kasus penyalahgunaan narkotika ini,  Polri melalui Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto memberikan petunjuk pelaksanaan rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika bagi jajarannya.  Seperti yang dimuat CNN Indonesia (Rabu, 07/03/2018). Petunjuk itu diberikan dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor SE/01/II/Bareskrim pada 15 Februari 2018 silam.

Pertama, rehabilitasi diberikan kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkotik yang melaporkan diri sendiri atau dilaporkan oleh orangtua kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL).

Kedua, rehabilitasi diberikan kepada tersangka yang tertangkap dengan bukti hasil pemeriksaan urine positif, tanpa ditemukan barang bukti.

Dalam dua pertimbangan ini tidak dilakukan proses penyidikan terhadap pecandu atau korban penyalahgunaan narkotik.  Penyidik hanya diizinkan melakukan interogasi untuk mengetahui asal usul narkotik yang diperoleh oleh pecandu atau korban penyalahgunaan narkotik.

Ketiga, rehabilitasi diberikan kepada tersangka yang tertangkap tangan dengan bukti hasil pemeriksaan urine positif serta ditemukan barang bukti narkotik dengan jumlah tertentu. Pada pertimbangan proses penyidikan tetap dilakukan. Sementara rehabilitasi dapat diberikan berdasarkan analisa penyidik.


Untuk penanganan tersangka di luar tiga pertimbangan itu, akan dilakukan sesuai dengan manajemen penyidikan yang berlaku. Sedangkan rehabilitasi terhadap pecandu dan korban penyalahgunaan narkotik dapat diberikan berdasarkan analisa penyidik.

Sedangkan terkait batasan jumlah barang bukti yaitu untuk 16 jenis narkotik, yaitu sabu (satu gram), ekstasi (2,4 gram atau delapan butir), heroin dan kokain (1,8 gram), ganja (lima gram), daun koka (lima gram), meskalin (lima gram), kelompok psilosybin (tiga gram), kelompok d-lisergic acid diethylamidr (dua gram), dan kelompok phencyclidine (satu gram).

Kelompok fentanil (satu gram), kelompok methadon (0,5 gram), kelompok morfin (1,8 gram), kelompok petidin (0,96 gram), kelompok kodein (72 gram), serta kelompok bufrenofrin (32 miligram).

Kesengsaraan dan Sanksi Sosial di Media Sosial

Bagi yang pernah tersangkut narkotika, mau tidak mau harus menjalani banyak urusan dan masalah. Mulai dari urusan ketika berhadapan dengan pihak kepolisian ketika tertangkap, hingga berlangsungnya proses hukum vonis di pengadilan.  Di samping juga urusan rehabilitasi yang tidak saja memakan waktu lama, juga memakan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi kesengsaraan lainnya yang bakal terus menghantui. Apakah setelah sembuh bisa kembali diterima oleh masyarakat atau tidak.

Hasil penelitian BNN dan LIPI dalam Survei Penyalahgunaan  dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2018 disebutkan,  secara umum ada tiga dampak yang ditimbulkan jika seseorang menggunakan narkoba, yaitu: pertama dampak di bidang kesehatan, kedua sosial, dan ketiga, dampak pada bidang ekonomi. Sementara dampak sosial pemakaian narkoba ternyata sangat berbariasi menurut relasi sosialnya. Namun hampir semua responden menyatakan bahwa para pemakai narkoba rata-rata dijauhi oleh berbagai pihak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden para pengguna narkoba dalam relasi sosialnya akan dijauhi dalam arti mengganggu hubungan tetangga (61,5 persen), pertemanan (56,2 persen), antar kerabat (39 persen) serta masyarakat sekitar (56,5 persen).

Hal inilah yang membuat korban penyalahgunaan narkoba yang telah sembuh merasa frustrasi. Dia akan kembali lagi kepada kelompoknya atau tempat nongkrong ketika mengenal narkoba. Di di tempat itulah dia mencoba-coba narkoba ketika dulu.

Padahal beban korban penyalahgunaan narkoba sebelumnya sudah banyak. Seperti kelangsungan pendidikannya terancam apabila dia masih sekolah. Atau  keterbataan untuk mendapatkan pekerjaan bagi yang dulunya sudah bekerja. Sedangkan di dalam keluarganya sendiri, dia sudah pasti menjadi beban hidup keluarga.

Tabungannya terkuras habis, hingga menghabiskan barang milik keluarga, dan pribadi. Pengeluaran biaya akibat terjerat hukum juga tinggi. Apabila harta sudah habis, maka untuk menutupinya lari pada hutang ke mana-mana. Yang paling parah, apabila dia sampai melakukan perbuatan atau tindakan kriminal seperti mencuri, merampok bahkan bertindak asusila demi mendapatkan bahan narkoba. Akhirnya bila tertangap akan berhadapan dengan pihak penegak hukum lagi.

Ilustrasi jejak digital. (sumber: 1001dunia.tumblr.com)

Selain penderitaan yang bersifat klasik, para penyalaguna narkoba di zaman milenial ini masih dihadapkan pada kehidupan sosial di dunia maya. Bagaimana dalam media sosial seseorang bisa dihakimi sedemikian rupa, sebelum pihak pengadil menetapkan hukumannya. Selain itu pemberiaan media massa baik yang konvensional maupun online juga cenderung melakukan pelanggaran dengan memuat secara penuh nama penyalahguna narkoba, apalagi bila itu sosok yang memang sudah dikenal di masyarakat, atau anak seorang tokoh.

Apabila nama mereka yang buruk sempat dimuat di media online, praktis akan tersebar secara luas ke seluruh dunia. Berita dan datanya tidak saja dikutip oleh media online lain maupun media sosial, tetapi juga ditangkap oleh server Google. Pada akhirnya, namanya sudah masuk dalam pencarian. Hal ini sangat sulit untuk dihilangkan begitu saja. Perlu waktu lama, bahkan berpuluh-puluh tahun.

Ada seorang caleg yang tersangkut penyalahgunaan narkoba pada 10 tahun. Dia bersusah payah mengembalikan citranya di dunia nyata. Memasang baliho besar di sudut-sudut kota. Namun dia lupa menghapus jejaknya di internet atau dunia maya. Begitu namanya diketik pada mesin pencari Google, kasus narkoba yang sudah puluhan tahun itu ternyata ikut muncul.(tri widodo*)

*Penulis: Jurnalis tinggal di Balikpapan.

Share.
Leave A Reply