SEBAGIAN pria mungkin mengalami beberapa perubahan dalam perilaku hingga metabolisme saat memasuki penghujung usia 40-an tahun atau awal 50-an tahun. Kondisi ini dikenal sebagai ‘menopause pria’.

Kondisi menopause pria dapat memunculkan gejala seperti depresi, kehilangan dorongan seksual, disfungsi ereksi, perubahan suasana hati yang cepat, hingga kecenderungan mudah marah.

Gejala lain yang bisa terjadi adalah perut membesar, payudara bertumbuh (man boobs), penurunan energi, insomnia, konsentrasi buruk, dan maslaah daya ingat jangka pendek di usia paruh baya.

Menurut National Health Service (NHS), istilah menopause pria sebenarnya tidak begitu tepat. Alasannya, istilah itu mengesankan gejala-gejala yang muncul disebabkan oleh penurunan kadar testosteron. Padahal, ini tak selalu jadi penyebabnya.

Kadar testosteron memang dapat menurun secara berkala. Penurunan ini bisa terjadi sebanyak kurang dari dua persen per tahun sejak pria memasuki usia 30 tahun. Akan tetapi, NHS menilai penurunan ini kemungkinan bukan penyebab menopause pria.

Gejala-gejala menopause pria ini kemungkinan besar disebabkan oleh faktor gaya hidup seperti stres, depresi, hingga kecemasan. Masalah psikologis yang muncul ini bisa dipicu oleh pekerjaan atau masalah pribadi.

“Kecemasan terhadap apa yang telah mereka capai sejauh ini, baik pekerjaan atau kehidupan pribadi mereka, bisa berujung pada periode depresi,” ungkap NHS seperti dilansir dari laman Express, Selasa (31/5/2022).

Adapun veberapa faktor gaya hidup lain yang dapat menyebabkan menopause pria adalah kurang tidur, pola makan tak sehat, serta kurang bergerak aktif. Konsumsi alkohol hingga merokok juga bisa berperan dalam terjadinya menopause pria.

Dr Eraim Chaudry menjelaskan, masalah hipogonadisme terkait usia atau late onset hypogonadism juga bisa menjadi penyebab munculnya gejala-gejala menopause pria.

Hipogonadisme, ungkap NHS, merupakan sebuah kondisi di mana testis memproduksi sedikit hormon atau bahkan tidak memproduksinya sama sekali.

Hipogonadisme bukan kondisi yang normal terjadi dalam proses penuaan. Beberapa kelompok seperti pria obesitas atau penyandang diabetes tipe 2 lebih berisiko untuk mengalami hipogonadisme.

Untuk mendiagnosis hipogonadisme, pria perlu menjalani tes darah terlebih dulu. Bila defisiensi testosteron teridentifikasi, pria mungkin akan dirujuk ke dokter ahli endokrinologi.

Ada beberapa opsi terapi yang dapat direkomendasikan untuk pasien pria yang mengalami hipogonadisme. Salah satu di antaranya adalah terapi penggantian hormon. Terapi ini tersedia dalam berbagai bentuk seperti tablet, koyo gel, implan, dan injeksi.

Sumber : PMJ NEWS

Share.
Leave A Reply