Tana Paser, Belakangan ini situasi harga komoditas barang di Indonesia kian menyulitkan masyarakat, khususnya petani sawit swadaya.

Pasca pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dan dicabutnya pelarangan, namun harga TBS sawit di petani sawit swadya masih ‘binal’ tak terkendali.

Sementara, kala ini justru pemerintah kembali menaikkan harga BBM-Nonsubsidi sesuai sesuai keputusan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dilansir Kompas.com 10/07/2022.

Padahal sistem distribusi dan pengawasan BBM-Subsidi kala ini masih ‘berantakan’ dan tuai pro-kontra.

Muchtar Amar, SH selaku Pemerhati Politik dan Hukum (PATIH) di Tana Paser melalui keterangannya di Medan mengungkapkan kepada awak media Selasa 12/07/2022 “SPBU di Kaltim kan tak lagi banyak sediakan BBM-Subsidi dan di daerah yang banyak petani sawit swadaya adanya BBM-Non Subsidi, bio-solar subsidi sulit dicari, kalaupun ada tetap mahal”.

“harga TBS kan masih ‘binal’, pastinya kebijakan ini tambah menyulitkan petani sawit swadaya, biaya produksi bertambah mulai pupuk sampai biaya langsir dari kebun sampai ke PKS”, tambah dia.

Memang menurut surat Kementan No. 144/KB.310/M/6/2022 tertanggal 30 Juni 2022 agar TBS petani swadaya dibeli minimal seharga Rp. 1.600,- dan diharapkan Gubernur, Walikota dan Bupati mendorong fasilitasi kelembagaan petani swadaya dengan pihak pabrik terjalin kemitraan.

Menurut Amar, “sudah sering saya mengatakan agar pemangku kebijakan mengurai persoalan sesuai kewenangannya, jangan saling lempar bola, kan jelas tugasnya menurut konstitusi untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, jangan lah berpikir eksklusif pribadi atau golongan saja”, tegasnya.

Ia melanjutkan, “jangan penguasa melulu ‘tunduk’ dengan pengusaha, harusnya bisa fasilitasi keduanya agar sama-sama jalan, jangan sampai buat petani swadaya marah dan blokir jalan umum menuju pabrik, karena kecewa dengan penguasa dan pengusaha”, pinta dia.

Sistem distribusi dan pengawasan BBM-Subsidi yang tak adil dan masih ‘lemah’ membuat daftar ketimpangan di masyarakat bertambah.

“seharusnya jika nelayan ada SPBN, maka petani sawit swadaya juga harus ada SPBPetani Sawit, dipisahkan saja sentra pengisiannya, sektor industri khusus SPBU Subsidi sesuai potensi daerahnya, jangan di daerah industri banyak SPBU Subsidi, diduga pasti tidak tepat sasaran distribusi pemberian subsidinya”, sambung dia.

 

 

Share.
Leave A Reply