Kami Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera yang terafiliasi dengan LBH Pers, menerima aduan dari sejumlah pengurus Serikat Pekerja (SP) Jawa Pos pada 6 Agustus 2020 terkait dugaan pemberangusan serikat pekerja atau union busting di lingkungan kerja PT Jawa Pos Koran. Perwakilan SP, juga melampirkan data-data pendukung atas situasi yang mereka alami, baik sebagai pengurus dan anggota SP maupun individu.

Setelah mempelajari laporan dan bukti-bukti pendukung, kami menilai, ada dugaan kuat bahwa manajemen PT Jawa Pos Koran memberangus SP. Modus pemberangusan itu melalui pemutusan hubungan kerja yang dibahasakan manajemen dengan sebutan ‘pensiun dini’. Perlu diingat, di dalam UU Ketenagakerjaan, tidak dikenal istilah ‘pensiun dini’ di dalam hubungan industrial.

Kalaupun manajemen memakai istilah ‘pensiun dini’ itu artinya pemutusan hubungan kerja atau PHK. Dan, PHK harus disepakati kedua belah pihak, pekerja dan manajemen. Artinya, yang disebut manajemen PT Jawa Pos Koran sebagai ‘pensiun dini’ tersebut adalah tawaran kepada para pekerjanya dan sama sekali tidak boleh ada unsur paksaan. Namun nyatanya, sejumlah pekerja ‘dipaksa’ mengambil opsi pensiun dini. Jika menolak, para pekerja di-PHK.

Menurut laporan, manajemen berdalih melakukan efisiensi karena dampak pandemi Covid-19 terhadap bisnis perusahaan. Salah satu cara yang digunakan adalah resizing, baik jumlah, komposisi pekerja maupun operasional. Alhasil, sejak Juli sampai saat ini, puluhan pekerja PT Jawa Pos Koran dari berbagai unit kerja, dipaksa pensiun dini. Yang menolak, di-PHK manajemen. Gelombang kebijakan ini menyapu hampir semua pengurus dan anggota SP.

Namun, skema resizing itu bertolak belakang dengan lahirnya Jawa Pos Minggu per 23 Agustus yang jumlah halamannya lebih tebal. Jika dibandingkan halaman reguler, Jawa Pos Minggu setara 32 halaman. Sedangkan pada hari biasa, Jawa Pos hadir 24 halaman. Artinya, ada penambahan biaya cetak, padahal perusahaan sedang menggulirkan efisiensi.

Kami melihat, resizing ini tidak jelas parameternya. Pasalnya, manajemen PT Jawa Pos Koran ternyata kembali mempekerjakan sebagian besar pekerja yang sudah diberhentikan. Mereka dipekerjakan kembali dengan status kontrak dan durasi kerja beragam atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Berdasar laporan yang kami terima, manajemen PT Jawa Pos Koran menyebutkan bahwa pensiun dini hanya ditawarkan kepada pekerja yang berusia 40 tahun ke atas. Faktanya, tujuh pengurus SP yang berusia di bawah 40 tahun juga ditawari mengambil pensiun dini. Kepada lima di antaranya, tawaran itu disertai ancaman PHK jika menolak. Dua dari lima pengurus yang diintimidasi dengan PHK itu, Janesti Priyandini dan Ratnachrista Rachmawati yang berusia 30-an tahun, tegas menolak pensiun dini. Manajemen PT Jawa Pos Koran pun mem-PHK mereka pada 13 Agustus 2020.

Total ada 48 anggota SP Jawa Pos, 26 di antaranya pengurus, terpaksa mengambil opsi pensiun dini karena takut di-PHK. Sedangkan dua pengurus dan dua anggota lainnya, mengalami PHK. SP sudah berkali-kali mengajak manajemen untuk berdialog terkait permasalah hubungan industrial ini. Sampai akhirnya, pengurus SP mengadu ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Surabaya agar dilakukan tripartit.

Upaya itu berhasil memaksa manajemen PT Jawa Pos Koran duduk satu meja dengan SP. Dan dalam pertemuan yang digelar pada 2 September 2020 itu, disepakati 4 poin untuk menyelesaikan permasalahan hubungan industrial yang pada intinya, manajemen PT Jawa Pos Koran mencegah terjadinya PHK masal, semua kebijakan manajemen terutama terkait PHK harus dikomunikasikan dengan SP.

Kemudian, SP harus menyampaikan kesepakatan ini kepada para pekerja. Dan poin keempat, pensiun dini bersifat tawaran dan tidak boleh dipaksakan dengan cara apapun. Sekali lagi, tidak boleh dipaksakan dengan cara apapun, termasuk ancaman PHK bagi yang menolak tawaran itu seperti yang dilakukan manajemen. Namun, kesepakatan itu diabaikan manajemen dengan tetap melakukan PHK terhadap dua anggota SP atas nama Raka Denny Respati Wardhana dan Chandra Nur Satwika.

Perlu diketahui, SP Jawa Pos, resmi dideklarasikan pada 3 Maret 2020 dan dicatatkan ke Disnakertrans Kota Surabaya pada 18 Mei 2020. Upaya pemberangusan serikat pekerja ini, melanggar Pasal 28 jo. Pasal 43 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp 500.000.000.

Kami pun menyadari panademi ini memukul semua sektor usaha termasuk media massa. Namun, tentu saja pandemi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dan pemberangusan serikat pekerja. Apalagi, pandemi juga berdampak pada kehidupan para pekerja. Untuk itu, kami mendesak manajemen PT Jawa Pos Koran:

1.    Menghentikan PHK kepada para pekerja, khususnya yang tergabung dalam Serikat Pekerja Jawa Pos, yang menolak tawaran pensiun dini.
2.    Menghentikan intimidasi kepada para pekerja, khususnya yang tergabung di dalam Serikat Pekerja Jawa Pos yang menolak tawaran pensiun dini.
3.    Batalkan PHK kepada para pekerja yang menolak tawaran pensiun dini sesuai kesepakatan di Disnakertrans Kota Surabaya.
4.    Agar merumuskan skema resizing yang dilakukan memiliki parameter yang jelas, objektif dan transparan sehingga tidak menarget anggota dan pengurus serikat pekerja. Hal ini sesuai rekomendasi dari Disnakertrans dan Kemententerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI.
5.    Agar menghormati kelembagaan Serikat Pekerja Jawa Pos sebagai wadah berorganisasi para pekerja sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
6.    Agar mengedepankan cara-cara dialogis yang memenuhi rasa keadilan dengan melibatkan Serikat Pekerja Jawa Pos.

Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya. Semoga kita semua terus selalu menggalang solidaritas sesama jurnalis dan pekerja media.

Surabaya, 28 September 2020

Ketua
Miftah Faridl

Koordinator Divisi Advokasi
Yovinus Guntur Wicaksono

sumber: aji.or.id

 

Share.
Leave A Reply