Oleh : Kasrani Latief
Ketua Pokja Bunda Literasi Kab. Paser

 

BUDAYA mudik atau pulang kampung sudah menjadi tradisi tiap tahun masyarakat Indonesia. Menjelang Idul Fitri, masyarakat yang merantau berbondong-bondong pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar. Mereka rela berdesak-desakan, antri berjam-jam, dan merasakan macet di jalan demi bisa bertemu dengan orang tua dan sanak di kampung halaman.

Semua moda transportasi baik darat, laut maupun udara tak sepi dari pemudik. Sehingga pemudik terkadang harus pesan tiket jauh-jauh hari bahkan sebelum Ramadhan dimulai.

Dalam tradisi mudik ini bahkan tidak hanya dilakukan oleh muslim saja, terkadang non-muslim juga ikut mudik untuk bertemu keluarga mereka. Mudik besar-besaran terjadi sebelum Idul Fitri karena libur Idul Fitri lebih panjang daripada libur yang lain.

Dahulu antara mudik dan lebaran tidak memiliki kaitan satu sama lain. Dalam bahasa Jawa ngoko, Mudik berarti ‘Mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja. Namun kini, pengertian Mudik dikaitkan dengan kata ‘Udik’  yang artinya kampung, desa atau lokasi yang menunjukan antonim dari kota. Lantas pengertian ini ditambah menjadi ‘Mulih Udik’ yang artinya kembali ke kampung atau desa saat lebaran.

Menurut Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra, kata mudik berasal dari kata udik.  Konteks kata udik adalah pergi ke muara dan kemudian pulang kampung.

Menurutnya, saat orang mulai merantau karena ada pertumbuhan di kota, kata mudik mulai dikenal dan dipertahankan hingga sekarang saat mereka kembali ke kampungnya.

Istilah mudik mulai dikenal luas di era tahun 1970-an, setelah pada masa Orde Baru melakukan pembangunan pusat pertumbuhan di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan yang menyebabkan orang melakukan urbanisasi pindah ke kota untuk menetap dan mencari pekerjaan. Ia menuturkan, mereka yang bekerja dan hidup di kota. Lama lepas dari kerabatnya. Padahal selama di desa bisa dekat dengan kerabat.

Sejak kapan tradisi mudik ini terjadi?
Diduga, tradisi mudik muncul pada 1970-an. Menyitir temuan Maman Mahayana, dalam kamus-kamus yang terbit sebelum tahun 70-an, mudik belum diartikan sebagai pulang kampung.

Mudik diartikan berlayar ke udik atau pergi ke hulu sungai. Barulah pada kamus Bahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1976, mudik yang bermakna pulang kampung muncul.
Mengapa ada tradisi mudik?

Melihat bagaimana mudik baru muncul setelah tahun 70-an, bertepatan dengan masa pembangunan Orde Baru, kurang lebih kita dapat melihat mudik sebagai dampak pembangunan Indonesia yang terpusat di Jakarta.

Terjadinya pemusatan pembangunan di Jakarta menyebabkan pemusatan penduduk usia produktif serta aktivitasnya. Istilah mudik mulai dikenal luas di era tahun 1970-an, setelah pada masa Orde Baru melakukan pembangunan pusat pertumbuhan di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan yang menyebabkan orang melakukan urbanisasi pindah ke kota untuk menetap dan mencari pekerjaan. Ia menuturkan, mereka yang bekerja dan hidup di kota. Lama lepas dari kerabatnya. Padahal selama di desa bisa dekat dengan kerabat.

Di sisi lain, pemusatan penduduk ini tidak serta-merta menghilangkan sentimen penduduk terkait terhadap daerah asal kelahirannya–tempat keluarganya berada. Akhirnya terciptalah tradisi dalam setahun sekali para penduduk pulang ke desa, tradisi ini kemudian dikenal sebagai mudik.

Fenomena mudik lebaran di Indonesia memang unik dan jarang ditemukan di negara lain. Sekitar satu minggu sebelum lebaran, para perantau berbondong-bondong meninggalkan ibukota dan kembali ke kampung halaman. Mudik secara khusus memang ditujukan untuk momentum pulang kampung saat lebaran saja. Sedangkan pulang kampung yang dilakukan pada hari biasa, tidak mendapat sebutan mudik. Lantas bagaimana awal mula tradisi mudik lebaran di Indonesia?

Sebenarnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit.  Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki.

Masyarakat memang tidak bisa meninggalkan tradisi mudik ini. Ada hal-hal yang membuat perantau wajib melaksanakan pulang kampung. Pertama mudik menjadi jalan untuk mencari berkah karena bisa bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat dan tetangga. Kegiatan ini juga menjadi pengingat asal usul daerah bagi mereka yang merantau.

Tradisi mudik bagi perantau juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau.

Mudik juga menjadi ajang silahturahmi, ternyata dengan seringnya kita menyambungkan silahturhami bahkan mempererat menjadi persaudaraan lebih indah sehingga senyuman antar kita menghiasa suasana akan tetapi hal ini dirasakan hanya dimoment tertentu saja padahal ada pahala istimewa yang tidak kita ketahui tentang Silahturahmi.

Selain itu, Mudik menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru, dan yang terpenting diharapkan setelah mudik akan membawa hal-hal baru/Inovasi baru yang yang diadopsi dari kampung halaman untuk diterapkan dalam rangka membangun daerah Kabupaten Paser menuju Paser MAS (Maju, Adil dan Sejahtera)***

Share.
Leave A Reply